Ketua Agupena Semarang

Ketua Agupena  Semarang
Roto, S.Pd

Ambiguitas Pendidikan Gratis

Selasa, 09 Maret 2010

Oleh Roto
GEMA pendidikan dasar gratis secara nasional telah berlangsung selama 7 bulan. Masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah dengan suka cita menyambut program tersebut. Mengutip iklan di beberapa televisi tentang pendidikan gratis: ”Walau bapaknya sopir angkot anaknya bisa jadi pilot. Meskipun bapaknya tukang loper koran anaknya bisa jadi wartawan! Asalkan ada kemauan.” Artikel ini menanggapi Najamuddin Muhammad (Suara Merdeka, 3 Agustus 2009).

Iklan tersebut oleh sekelompok orang iseng diplesetkan menjadi: ”Walau bapaknya sopir angkot anaknya tetap jadi asap knalpot. Meskipun bapaknya tukang loper koran anaknya tetap jadi pengangguran.”

Bahkan ada plesetan yang lebih mengerikan: ”Walau bapaknya sopir angkot anaknya bisa jadi bandot. Meskipun bapaknya tukang loper koran anaknya justru jadi gelandangan.” Itulah plesetan yang dilontarkan oleh orang-orang yang frustrasi karena tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang ia idam-idamkan.

Maka, jangan heran kelompok teror bom yaitu pengikut Noordin M Top tetap tumbuh subur di negeri ini. Buktinya, coba kita cermati contoh kasus Ibrohim yang hanya sebagai perangkai bunga. Gajinya tidak sesuai dengan idamannya. Eko Joko Sarjono dan Air Setyawan hanya sebagai pekerja serabutan. Dani Dwi Permana menjadi frustrasi karena orang tua broken home dan lain-lain.

Untuk mengakhiri berkembangnya atau membungkam teror bom tidak hanya cukup pelakunya ditangkap dan dibunuh. Melainkan harus dibarengi tindakan nyata. Di antaranya adalah pemerintah harus mampu menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya dan diiringi sukses program pendidikan dasar gratis. Itu sekaligus kebutuhan pembangunan fisik dan nonfisik di sekolah pendidikan dasar agar memadai.

Dalam arti pemerintah menyediakan fasilitas selalu meningkat dan memadai sesuai skala prioritas masing-masing sekolah di setiap tahunnya tanpa berhenti. Dengan asumsi, sekelompok orang frustrasi karena menganggur berkurang. Secara otomatis mereka akan sulit menerima pengaruh teror bom karena mudah mendapat lapangan kerja yang sepadan dengan bakat dan kemampuannya.

Mencermati contoh kasus di atas dan artikel Najamuddin Muhammad mengilustrasikan masyarakat berekonomi menengah ke bawah kurang mempercayai terhadap isi iklan tersebut atau terjadi persepsi yang menimbulkan asumsi kontraproduktif. Argumen Najamuddin Muhammad ada benarnya tetapi tidak semuanya benar.

Pada kesempatan ini, penulis mencoba memaparkan fakta lain dengan tujuan dapat dicermati secara seksama. Hal itu untuk bahan bandingan oleh masyarakat luas umumnya dan para stakeholder khususnya selaku pengambil kebijakan. Implikasinya pemerintah mampu mencerahkan masyarakat, bangsa dan negara.

Budaya masyarakat kita sangatlah antusias jika dihadapkan pada kata-kata ”gratis”. Berkait dengan iklan pendidikan gratis, masyarakat berasumsi bahwa pemerintah belum mampu menjabarkan persoalan mana yang digratiskan. Contoh kasus tertentu, sebagian masyarakat berasumsi bahwa pendidikan gratis sampai merambah ke pendidikan menengah atas. Padahal kalau kita mau cermat, yang dimaksud iklan pendidikan gratis adalah sebatas pada pendidikan dasar 9 tahun. Dana bantuan dari pemerintah berupa BOS (Bantuan Operasional Sekolah) masih jauh dari ideal atau minim.

Namun faktanya masyarakat di lapangan ada kecenderungan bahwa pendidikan gratis sampai dengan sekolah menengah atas. Itulah persoalan pemerintah, yang kurang terperinci dalam mengiklankan pendidikan dasar gratis tersebut.
Persoalan Membuncah Dualisme pandangan di atas memang benar membuncah di masyarakat, baik di kalangan guru sekaligus legislatif dan eksekutif. Para anggota legislatif memperjuangkan dengan keras bahwa pendidikan dasar harus gratis. Pernyataan tersebut sebagai bukti bahwa anggota legislatif berpihak kepada rakyat, masyarakat dan bangsa.

Dari sudut pandang eksekutif pendidikan gratis ada batas-batasnya. Sebagai bukti di suatu kesempatan Gubernur Jawa Tengah pernah menyatakan bahwa pendidikan gratis sangat memberatkan atau pemerintah belum sanggup menanggung biaya pendidikan gratis tersebut.

Dari sudut pandang pelaku pendidikan yaitu para karyawan, guru dan kepala sekolah juga menyambut dengan antusias pendidikan gratis tersebut. Sebab merekalah yang tahu persis persoalan di lapangan berkait dengan kebutuhan masyarakat dan sekaligus kebutuhan institusi sekolah.

Contoh kasus setiap akhir tahun dan sekaligus awal tahun pelajaran, sekolah hendak meningkatkan sarana dan prasarana di setiap tahunnya. Maka, antara sekolah bersama komite merumuskan dana iuran untuk mewujudkannya dengan tujuan utama meningkatkan kualitas lulusan.

Namun persoalan membuncah ketika masyarakat berharap tidak ada tarikan dana dengan dalih apa pun untuk kepentingan sekolah sesuai iklan sekolah gratis yang didengungkan berbagai televisi tersebut. Di sinilah persoalan antara kebutuhan sekolah dengan kebutuhan masyarakat menjadi membuncah. Dengan realitas tersebut, simpulannya adalah para pelaku pendidikan menjadi korbannya.

Maka, para pelaku pendidikan sangat berharap kepada legislatif dengan eksekutif untuk mampu mewujudkan pendidikan dasar gratis tanpa mengorbankan pihak-pihak tertentu terutama institusi sekolah. Namun, sekali lagi kebutuhan sarana prasarana sekolah di setiap tahunnya harus terpenuhi. Maka, sekali lagi para anggota legislatif tidak hanya berkoar-koar pendidikan dasar gratis saja, tetapi harus dibarengi dengan tindakan nyata mencarikan dana pembangunan fisik dan non- fisik sekolah di setiap tahunnya.

Jika para anggota legislatif belum percaya, silahkan cek di lapangan untuk mengetahui secara pasti kebutuhan sekolah di setiap tahunnya; jangan hanya sehari-dua hari, melainkan pantaulah fakta sebenarnya dari tahun ke tahun. Benarkah dana pendidikan disalahgunakan? Jika benar dan terbukti, tangkaplah mereka untuk ditempatkan di hotel prodeo, siapapun pelakunya harus ditangkap tanpa pandang bulu.

Jika benar institusi sekolah membutuhkan dana pembangunan mulai dari paving halaman, pagar lingkungan, gedung pertemuan dan isinya, gedung laborat dan isinya, perpustakaan dan isinya, ruang kesenian dan isinya, ruang komputer dan isinya, dana internet di setiap bulannya, dan lain-lain. Dari manakah dana tersebut? Apabila secara bertahap tidak dipenuhi dari kesepakatan legislatif dan eksekutif, jangan harap mutu pendidikan membaik. (80)

—Roto, pelaku pendidikan, mahasiswa Pascasarjana UMS.

”Pihak sekolah bersama komite perlu merumuskan dana iuran untuk mewujudkannya dengan tujuan utama meningkatkan kualitas lulusan.”Namun persoalan membuncah

0 komentar:

Posting Komentar