Ketua Agupena Semarang

Ketua Agupena  Semarang
Roto, S.Pd

Merajut Jejak Problem Seni Budaya Daerah

Rabu, 17 November 2010

Oleh Roto

MINGGU belakangan ini, berbagai media cetak dan tulis sangat gencar mengangkat fenomena seni tari daerah (seni budaya). Contoh yang sedang hangat yaitu tari Pendet yang sedang di pendet, di daku atau istilah kerennya di klaim milik Malaysia. Maka silang sengkarut komentar dari berbagai elemen bangsa dengan argumennya masing-masing. Simpulan secara umum Malaysia dianggap melecehkan bangsa Indonesia yang kesekian kalinya. Sedang dari sudut pandang lain, guru seni tari dan sanggar tari merasa tertantang, tersanjung sekaligus terpukul, karena wacana seni daerah mampu nebeng kesempatan untuk menjadi tenar dalam perdebatan secara nasional. Kita, bahkan dunia mengakui bahwa seni budaya dari Bali sangat luar biasa.

Peran guru seni tari dan sanggar tari akan lebih tertantang dan tersanjung jika perhatian tersebut tidak berhenti pada forum wacana. Artinya perhelatan seni budaya daerah perlu dikaji bagaimana implementasi di masyarakat sebenarnya. Mulai dari keberadaan tari gambyong, tari srimpi, tari kecak, wayang kulit, wayang krucil, wayang orang, reog Ponorogo, ketoprak, ludruk dan lain-lain.

Setelah stakeholder mengetahui duduk persoalan sebenarnya barulah diambil tindakan yang tepat dan bijak. Dengan maksud agar kekayaan seni tari daerah tersebut mampu tumbuh dan terpelihara seiring dengan pengaruh perkembangan budaya asing. Selanjutnya mampu membekas kepada anak cucu generasi bangsa. Artinya kita tetap sebagai bangsa yang terbuka dan siap berubah, tetapi tetap memelihara dan mempertahankan eksistensi budaya lokal menjadi budaya nasional.

Persepsi sama

Berdasarkan fenomena tersebut, alangkah indahnya jika semua elemen bangsa dan para stakeholder duduk bersama untuk mencari solusi yang bijak. Artinya tidak hanya sekedar berdebat dan menghujat. Jika mau cermat mengamati di sekeliling kita, persoalan menghilangnya seni tari daerah karena faktor pemerintah, televisi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan orangtua.


Fakta tersebut bermula minimnya dukungan/penghargaan dari pemerintah, sehingga orangtua kurang percaya kepada anaknya jika mau mengembangkan potensi seni budaya. Faktanya mereka lebih memilih pada perkembangan teknologi, dan abai terhadap seni budaya. Contoh alangkah bangganya para orangtua kalau anaknya pandai menari tari dance, menyanyi lagu pop, lagu rock, lagu barat dan lain-lain. Kita layak mengapresiasi positif terhadap bertahannya sanggar tari. Namun faktanya sanggar tari tersebut sepi dari jumlah murid. Itulah keprihatinan kita. Artinya seni tari atau seni budaya daerah di Indonesia hidup enggan matipun tidak mau.

 

Tidak kalah pentingnya peran KPI dianggap mandul dan kurang apresiatif terhadap seni tari daerah. Selama ini kita juga perlu mengapresiasi positif kepada TVRI masih berkesempatan menyajikan acara-acara tari daerah. Sedang televisi swasta mestinya juga ikut bertanggungjawab terhadap merosotnya seni tari daerah, maka sudah sewajarnya jika mereka ikut berkesempatan menayangkan seni budaya lokal beberapa menit di setiap harinya.

Pertanyaannya mengapa hal tersebut terjadi? Faktanya nilai jual seni budaya daerah kurang laku, bahkan tidak laku, kecuali tari-tarian dari daerah Bali. Dikesempatan yang “mulia” ini, para produsen mestinya mau memanfaatkan momen ini untuk membuat promosi produknya dengan diselipi seni budaya daerah/tari lain yang sedang diperkarakan. Sudah sepantasnya masyarakat mengapresiasi positif terhadap salah satu produk minuman yang menyisipkan tari Pendet dalam iklannya.

 

Dengan mencuatnya kasus tari pendet didaku atau diklaim atau benar-benar dipendet Malaysia, itu artinya kita, masyarakat, bangsa dan negara mendapat tamparan yang menyesakkan dan menyakitkan. Selanjutnya maukah masyarakat dan pemerintah melestarikan seni budaya daerah atau sekedar berwacana belaka?

 

Untuk melestarikan berbagai seni budaya daerah Indonesia diperlukan persepsi yang sama, mulai dari pribadi keluarga, masyarakat, bangsa bahkan negara. Maka sudah seharusnya pemerintah pusat dan daerah untuk cancut taliwondo mengambil langkah strategis. Diantaranya memberi penghargaan kepada seniman daerah berupa materi yang sepadan dengan karya-karyanya, dan membenahi program pembelajaran di tingkat pendidikan dasar berkait dengan mata pelajaran Seni Budaya. Sehingga pernyataan Darma Putra selaku dosen Sastra Universitas Udayana yang berbunyi: “…sudah sejak lama Bali dilanda kekosongan laboratorium kebudayaan, kompas 5 September 2009, tidak benar adanya. Artinya terlahir kebijakan baru menjawab pernyataan tersebut.

 

Pertama, pemerintah berkenan mempertimbangkan untuk mau mencetak guru seni tari lebih khusus tari daerah Bali dengan lisensi D1 sampai dengan D4, untuk dipersiapkan mendidik dan mengajar di SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK. Waktu yang diperlukan antara 1 tahun sampai terpenuhinya guru tari Bali di seluruh penjuru negeri. Bagaimana Menteri budaya & pariwisata dengan Mendiknas?

 

Kedua, memberlakukan team teaching untuk guru seni budaya di tingkat SMP/MTs, SMA/SMK jika guru dan sarana prasarana tersedia. Sesuai dengan rambu-rambu kurikulum 2006 mata pelajaran (mapel) Seni Budaya yang berbunyi: “Sekolah seyogyanya menyelenggarakan semua aspek (bidang seni) dalam kurikulum (rupa, musik, tari dan teater). Artinya, jika di suatu sekolah tersedia guru seni rupa, seni musik dan seni tari, maka sekolah tersebut dapat memberlakukan atau memberi kebebasan kepada peserta didiknya untuk memilih dan mengembangkan bakat dan minat siswa dibidang seni budaya. Dengan difasilitasi pemuataran/penayangan lagu-lagu daerah pada hari tertentu dan didukung pula program ekstrakurikuler mapel seni budaya. Pernyataan tersebut merealisasikan Permendiknas N0 39 tahun 2009, lebih khusus melaksanakan program team teaching, sekaligus memberdayakan guru seni budaya dan peserta didik agar berkembang maksimal.

 

Keprihatinan kita adalah keberadaan siswa didik kurang berminat terhadap seni budaya daerah, kata-kata yang terlontar dari pembicaraan mereka bahwa tari/lagu daerah adalah kuno (ketinggalan jaman). Itulah persoalan yang menampar wajah dunia pendidikan saat ini. Penulis berasumsi bahwa fakta tersebut adalah bias dari program Ujian Nasional (UN) yang hanya menekankan faktor pengetahuan (koqnetif) belaka. Fakta keterampilan (psikomotor) kurang mendapat perhatian. Imbas yang nyata, kita hanya bisa berkoar-koar mana kala seni tradisi di klaim bangsa lain. Memprhatinkan! Yah begitulah realitasnya.

 

Memutus mata rantai benang kusut tentang seni budaya daerah tersebut, hendaknya masyarakat, bangsa dan negara mau instropeksi untuk merajut kembali seni budaya daerah yang hampir punah, bahkan lenyap dari bumi pertiwi. Alangkah bijaknya jika para stakeholder lebih tegas memberlakukan setiap ada ijin pentas seni wajib disertai kolaborasi dengan lagu/tari daerah, dan mau memutuskan atau memberlakukan secara nasional seni budaya daerah yang telah diakui kehebatannya, seperti tari pendet, dapat diangkat secara nasional diajarkan ke seluruh penjuru negeri Indonesia. Mari kita pendet Malaysia dengan ilmu seni budaya dan teknologi, jangan hanya sekedar terprofokasi ganyang Malaysia. Bagaimana dengan Anda?

 

Ambarawa, 8 Sebtember 2009.

Oleh Roto. Email: roto_amb{@yahoo.com

Guru Seni Rupa di SMP Negeri 1 Sumowono.

Mahasiswa Pascasarjana UMS. HP 086866260943

Referensi:

1. Koran Kompas, Suara Merdeka, Solopos dan Jawa Pos.

2. Permendiknas NO 39 tahun 2009.

3. KTSP Seni Budaya, 2006.

Penerapan Cooperative Learning pada Materi Melukis

Oleh : ROTO

MENURUT Paul Klee, seni tidak menggambarkan sesuatu yang dilihat namun harus menjadikan terlihat. Seni bukan sekedar refleksi hal-hal yang kasat mata, tetapi dari inner word (alam batin/alam kejiwaan yang semula tidak tampak menjadi tampak). Dengan kata lain, seni bukan sekedar pernyataan kembali kenyataan dari alam, melainkan perwujudan dari sesuatu yang semula tidak berwujud, seperti suasana batin gembira, marah dan sebagainya (dalam Suwaji Bastomi, 1992: 10).

Pemahaman sederhana pengertian seni lukis adalah ungkapan olah rasa/olah batin yang diwujudkan dengan media utama pewarna. Pewarna yang dapat digunakan meliputi cat air, cat kayu, cat tembok, krayon, dan cat minyak. Pada dasarnya semua orang dapat melukis. Persoalannya terletak pada kualitas karya.

Penekanan utama melukis adalah memberi keleluasaan pada peserta didik agar berani mengekspresikan jiwanya sebebas-bebasnya. Dapat diartikan mewujudkan seni untuk seni (fine art) dalam arti mewujudan karya lukisnya tanpa menghiraukan atau tidak mempertimbangkan kegunaan, melainkan mementingkan kebebasan jiwa untuk mencapai kepuasan.

Jiwa yang diungkapkan bisa pengalaman batin yang dirasakan saat itu. Misalnya pengalaman kegembiraan atau pengalaman menyedihkan. Dan atau menangkap kejadian yang sedang in diluar dirinya. Misalnya tentang bencana banjir Wasior, musibah kecelakaan kereta api, kecelakaan lalu lintas, peristiwa demonstrasi, suasana sekolah, suasana pasar, dan lain-lain.

Penerapan Cooperative Learning

Pada kesempatan ini, penulis hendak memaparkan materi melukis media utama pewarna krayon/pastel pada siswa tingkat SMP/MTs dengan penerapan metode cooperative learning (belajar kelompok). Pendekatan metode cooperative learning dapat diartikan suatu cara belajar dengan membentuk kelompok antara 4 sampai dengan 5 orang peserta didik.

Penelitian dari Trish Baker dan Jill Clark menyatakan: “… bahwa pengembangan keterampilan tim adalah hasil paling penting dari pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif dalam banyak hal terlihat lebih efektif daripada metode pembelajaran individu dan pembelajaran kompetitif (Ayhan Dikici, 2006).

Dengan pendekatan metode cooperative learning dalam menyajikan materi melukis, diharapkan peserta didik dapat menemukan cara yang tepat untuk meningkatkan kualitas kegiatan belajar mengajar (KBM) dan kualitas praktik melukis. Selanjutnya peserta didik dapat melaksanakan tugas yang diberikan oleh guru berkait dengan materi melukis khususnya dan materi seni rupa pada umumnya mampu meningkat secara signifikan.

Adapun langkah-langkah penerapan metode cooperative learning materi melukis yang dapat dijadikan rujukan adalah melalui tahapan: Pertama, menjelaskan pengertian seni lukis dan dilanjutkan mendemonstrasikan proses melukis serta menunujukkan alat peraga berupa contoh hasil lukis koleksi internasional, nasional dan koleksi karya siswa pada periode sebelumnya. Dengan menunjukkan karya lukis peserta didik tahun sebelumnya dapat merangsang siswa berikutnya.

Kedua, menjelaskan pengertian cooperative learning. Buatlah kelompok belajar dengan cara menggabungkan meja kursi posisi melingkar, antara 4 sampai dengan 5 orang. Ketiga, menjelaskan sifat-sifat pewarna dan cara penggunaannya. Pewarna krayon mempunyai sifat mengkilat, menyala dan tekstur kasar.

Cara penggunaannya, buatlah sketsa dengan pensil sesuai tema yang ditentukan. Setelah sketsa sesuai perteballah dengan spidol hitam. Warnailah dari warna tua menuju ke warna terang. Keempat, memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya tentang arti melukis, proses membuat sketsa (menggambar) dan proses mewarna (melukis).

Setelah siswa memahami penjelasan guru, selanjutnya guru menentukan tema melukis dan siswa mulai mengerjakan. Mengingat waktu yang tersedia perminggu hanya 80 menit, tentu pekerjaan siswa belum selesai sesuai dengan apa yang diharapkan. Maka, guru wajib pandai mengatur waktu yang tersedia, agar pekerjaan siswa selesai dan nilainya mencapai criteria ketuntasan minimal (KKM).

Pengalaman penulis dalam melaksanakna KBM pada pertemuan pertama pekerjaan peserta didik baru mencapai sekitar 60 persen, yaitu berupa sketsa dan sebagian yang lain sudah mewarna. Padahal target yang diharapkan pekerjaan siswa mencapai 85 sampai 100 persen. Maka perlu dilakukan refleksi, selanjutnya guru menjelaskan langkah-langkah berikutnya berupa pemberian motivasi, agar pada pertemuan kedua target yang diinginkan tercapai.

Pada pertemuan kedua setelah dilakukan evaluasi dan dorongan (motivasi) secara umum pekerjaan siswa baru mencapai 65 persen sampai dengan 80 persen. Maka, perlu direfleksi kembali dan dilakukan perbaikan pada pertemuan ketiga, guna menentukan langkah-langkah selanjutnya. Mengingat, target yang dicanangkan guru belum tercapai batas tuntas KKM, maka perbaikannya, dilanjutkan pada pertemuan ketiga.

Berdasarkan evaluasi secara umum dan secara khusus serta penguatan dari guru disetiap pertemuan (satu, dua dan tiga), ternyata karya siswa telah dapat memenuhi KKM minimal 85 persen terpenuhi. Simpulannya, pelaksanaan materi melukis dengan penerapan metode cooperative learning terbukti selalu menunjukkan grafik peningkatan yang signifikan.

Oleh ROTO

Pendidik Seni Rupa pada SMP 1 Sumowono

Mahasiswa Pascasarjana UMS.

Terbit di RADAR SEMARANG, 17 NOPEMBER 2010