Mentradisikan Penelitian Guru
(Terbit di Jawa Pos Radar Semarang, 16 Mei 2010)
Oleh ROTO
PENELITIAN guru rendah, demikian wacana yang berkembang pada bulan belakangan ini. “Minat membaca guru yang minim di Indonesia berpengaruh besar terhadap rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Hal itu diperparah dengan masih banyaknya guru, termasuk guru besar, yang belum bisa melakukan penelitian sesuai dengan kode etik yang benar. Hal itu dikatakan Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) sekaligus pakar kurikulum Prof. Dr. H. E. Mulyasa, M.Pd. saat seminar dan bedah buku Praktik Penelitian Tindakan Kelas di Aula Redaksi Pikiran Rakyat, Jln. Soekarno-Hatta No. 147 Bandung, Rabu (24/2).” (http://bataviase.co.id/node/110415)
Faktanya sebagian guru masih ada yang bersikap masa bodoh akan fenomena tersebut. Jika fakta itu dapat dibuktikan kebenarannya, sudah seharusnya mereka harus “minggir” dalam arti berlaku sportif mengundurkan diri dari kancah profesi guru. Masih banyak guru yang berinisiatif untuk maju ke depan demi kejayaan anak negeri.
Fenomena peningkatan kesejahteraan guru menunjukkan terontong-terontong kecerahan semenjak diberlakukannya Undang-Undang Guru & Dosen nomor 14 tahun 2005 (UUG & D). Walau realisasinya UUG & D baru bisa dirasakan oleh sebagian guru (secara bertahab sesuai usia, golongan dan pangkat) mulai berlaku tahun 2007. Bukti lain animo calon mahasiswa di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta yang mendaftar di jurusan keguruan sangat meningkat tajam.
Simpulan sementara semenjak tahun 2007, dapat ditafsirkan bahwa perguruan tinggi keguruan cenderung mendapat bibit guru yang berprestasi. Secara matematik mulai tahun 2011 dan seterusnya bibit guru yang berkualitas mulai merambah masuk ke institusi sekolah yang sebenarnya.
Dunia pendidikan tidak akan pernah berhenti, laju informasi di era global sangat pesat. Para guru sudah pasti harus menyadari bahwa ilmu tidak hanya bersumber dari guru saja, melainkan dapat melalui koran, majalah, televisi, seminar, dan terlebih dunia internet (maya) sangat mendukung berkembangnya ilmu. Dunia maya dapat diseraf tanpa batas melalui komputer, bahkan handphone. Jika para guru mau jujur, bila dibanding dengan siswa didik, ada kecenderungan dalam menyeraf informasi kalah cepat.
Berdasar realitas tersebut tidak serta merta para guru lalu menjadi sempit pandangannya, melainkan para guru tetap unggul dalam kapasitasnya sebagai pengajar dan pendidik, sekaligus peneliti. Dengan catatan harus selalu berupaya meng-update ilmunya, sehingga peran guru betul-betul maksimal untuk mampu menghantarkan siswa didik yang berkualitas. Artinya sebutan guru gagap teknologi (gaptek), bahkan culun tidak menghantui pikirannya.
Peran LPMP & PGRI
Bersamaan dengan pemahaman fenomena tersebut di atas, sekaligus agar kualitas guru tetap terjaga, maka mentradisikan penelitian guru wajib segera diwujudkan. Artinya pemberian pelatihan penelitian dapat terlaksana secepatnya dan terprogram secara berkesinambunggan. Faktanya pelatihan tentang penelitian sangat jauh panggang dari api. Selama ini sebagian besar guru merasa nyaman “tidur nyenyak” atau mandeg di IV/a, bila dihadapkan pada persoalan penelitian. Secara stagnan kualitas pendidikan di negeri ini juga mandeg, jika ada yang berprestasi jumlahnya secara nasional sangat kecil, (Metro tv dalam Anies Baswedan, 6 Mei 2010).
Mengapa persoalan tersebut belum ditemukan pencerahan sampai dengan saat ini? Itulah realitas yang terjadi di sebagian besar guru kita. Mau bukti silahkan mengecek fakta di masing-masing kantor sekolah, berapa banyak jumlah guru yang pangkatnya berhenti di IV/a. Kecenderungan guru yang menduduki pangkat IV/b belum mencapai 2 persen. Mau bukti, berdasarkan data yang dihimpun Espos, guru dengan golongan IV/a sejumlah 92.453 atau 23,27 %, golongan IV/b sejumlah 707 orang atau 0,18% sementara guru golongan IV/a kebawah 304.096/76,56%. (http://www.solopos.com, Kamis, 29-4-2010)
Mencermati fenomena tersebut, para guru sangat berharap kepada LPMP atau stakeholder dan induk organisasi PGRI agar mampu menjembatani, sekaligus mengentaskan persoalan tersebut. Dengan maksud LPMP & PGRI mempunyai daya kejut untuk mengegolkan segera teralisasinya program penelitian sampai ke pelosok kabupaten/kodya secepatnya. Fakta tersebut dapat dijadikan argumen realistis untuk segera dicarikan solusinya. Jika para guru terlalu berharap banyak pada argumen di atas tentu “ketinggalan jaman” yang akan mereka sandang.
Fakta lain terjadi fenomena menggembirakan yaitu penelitian guru menggeliat, pada bulan belakangan Forum Ilmiah Guru (FIG), PGRI dan Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) kabupaten Semarang juga sedang menyelenggarakan program bimbingan pelaksanaan penulisan Penelitian Tindakan Kelas (PTK), dengan nara sumber Prof. Dr. Suharsimi Arikunto. Program tersebut dirancang selama empat bulan, empat kali pertemuan dengan pendampingan oleh pengurus Agupena.
Menanggapi fenomena rendahnya guru dalam penelitian, stakeholder tidak mesti menampakkan wajah pesimis, karena masih banyak guru yang selalu berantusias untuk mengembangkan potensi dirinya secara mandiri pula. Buktinya jumlah guru yang hendak menyelesaikan program S1 juga sangat kentara gaunggnya. Bahkan dengan cairnya program sertifikasi sangat berpengaruh signifikan terhadap guru yang melanjutkan program S2 secara mandiri. Luar biasa!
Realitas lain, tidak sedikit pula guru yang sudah melakukan berbagai upaya untuk mencapai pangkat IV/b, dengan cara membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI) yaitu diktat, buku, artikel ilmiah popular, PTK dan lain-lain. Namun karena kurangnya referensi, ilmu penelitian dan terlebih rendahnya kesadaran guru dalam penelitian, sehingga menghambat kepangkatannya.
Ambarawa, 10 Mei 2010
Oleh Roto Email: roto_amb@yahoo.com.
Pendidik SMP Negeri 1 Sumowono
Ketua Agupena kab. Semarang.
Mahasiswa Pascasarjana UMS
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar