MENCERMATI kasus hukum Minah 55 tahun, warga Dusun Sidoharjo, Kecamatan Ajibarang, Banyumas. Mengusik emosi elemen masyarakat yang peduli akan rasa keadilan dan kesejahteraan, terutama ranah lembaga pendidikan. Dengan mencuatnya kasus pencurian 3 buah kakao, kasus sebutir semangka, kemudian disusul kasus pencurian kapuk kapas oleh Manisih demi uang jajan anaknya yang duduk dikelas 3 SD. Fakta tersebut sempat mengundang perhatian Deny Indrayana (staf kusus kepresidenan bidang hukum) dalam Metro realitas, 1-12-2009.
Mengapa dan bagaimana hal tersebut menimpa saudara kita yang bernaung di daerah pedesaan? Ironis! Maka, kita layak mengapresiasi positif kepada media massa cetak dan elektronik yang mengulas contoh 3 kasus di atas.
Pada koran Wawasan, 19-11-2009 diilustrasikan Minah terjerat kasus hukum karena memetik atau “mencuri” 3 buah kakao ada yang menyebut senilai Rp 500,- sampai Rp 2.100,- sedang versi pemimpin Perkebunan PT Rumpun Sari Antan (RSA) dan jaksa, dia mencuri 3 kg kakao senilai Rp 30 ribu.
Selang satu minggu kemudian, Minah harus bolak-balik ke kantor polisi, kejaksaan hingga pengadilan, dengan jarak tempuh kurang lebih 50 km, tentu banyak menguras ongkos hingga ratusan ribu rupaih. Sedang pada tvOne, 20-11-2009 pkl 14.00 WIB, dan acara live (malam harinya), di sana terpancar wajah Minah tersipu malu, karena mencuri 3 kg kakao dengan fonis hukuman 1 bulan 15 hari (45 hari) dan masa percobaan 3 bulan, oleh pengadilan negeri Purwokerto, Jateng. Dengan mencuatnnya kasus pencurian tersebut, adakah pembelajaran yang dapat dipetik?
Pembelajaran masyarakat
Bagi warga masyarakat, hendaknya dapat memaknai bahwa ulah manusia yang mengambil (mencuri) barang bukan miliknya, karena “iseng” apalagi disengaja maka bersiap-siaplah untuk di meja hijaukan sampai pada menghuni penjara yang memberatkan sekaligus mencoreng dan memalukan keluarganya berkepanjangan.
Menyoroti kasus Minah “mencuri” 3 kg kakao, hingga sampai pada meja hijau (dalam arti dikorbankan) oleh pemilik perkebunan dengan tujuan membuat efek jera (pembelajaran) kepada masyarakat sekitar. Simpulan lainnya, masyarakat di pulau Jawa saja masih seperti itu, lalu bagaimana yang berada di luar pulau Jawa? Ironis!
Minah dan Manisih pasti kekurangan dalam memenuhi kebutuhan perut sehari-harinya. Buktinya, Minah juga menghidupi cucunya, karena ditinggal orangtuanya sebagai TKW (tenaga kerja wanita) di luar negeri. Walau Minah berkilah 3 buah kakaonya akan disemai (untuk bibit) di rumahnya.
Bercermin pada kasus pencurian tersebut, berarti pemerintah mendapat pukulan telak yang sangat memalukan, karena masih gagal dalam menyejahterakan rakyatnya. Namun, realitasnya disisi lain budaya korup bermiliar-miliar di negeri ini masih menganga lebar untuk diberantas. Seperti contoh kasus maraknya markus (makelar kasus), yang heboh pada bulan ini. Coba kita tengok perseteruan lembaga KPK versus Kepolisian, dan Kejaksaan, dengan kasus dana 5,1 milar, kemudian disusul mencuatnya kasus Bank Century dengan dana 6,7 triliun, konon diduga lembaga kepartaian sampai pada melibatkan orang-orang penting di negeri ini.
Heboh kasus tersebut sangat menyedot dan menguras emosi masyarakat, dengan eskalsi tinggi. Rakyat menunggu-nunggu pernyataan RI 1, yang disinyalir pernyataan Presiden (24-11-2009) dinilai membingungkan dan tidak tegas (live tvOne dan Metro tv). Makna yang dapat dipetik diantaranya yaitu lembaga kejaksaan, kepolisian dan KPK harus dibersihkan dari kasus-kasus mafia peradilan. Hingga menimbulkan terjadinya hak angket oleh perwakilan dewan, tokoh masyarakat, dan para mahasiswa, agar kasus tersebut yang diduga melibatkan mantan menteri keuangan dan direktur BI (Bank Indonesia) dapat diusut secara tuntas.
Berkait dengan permasalahan tersebut di atas, maka sudah seharusnya para koruptor yang terbukti harus dihukum seberat-beratnya. Karena ulah sebagian oknum pemerintah, berakibat rakyat kita miskin, bodoh dan menderita berkepanjangan. Artinya para koruptor sebagai penghambat pembangunan, bahkan secara halus membunuh masa depan generasi bangsa.
Pendidikan anti korupsi
Dari sudut pandang lembaga pendidikan, diharapkan semua mata pelajaran mampu menyisipkan materi anti korupsi untuk diimplementasikan secara komprehensip di tiap-tiap KD (Kompetensi Dasar). Maka, kita layak mengapresiasi positif dan mendukung Rektor Paramadina Anies Baswedan dalam wawancara eksklusif di tvOne dan di koran Kompas yang menyatakan Universitas Paramadina telah mempelopori, memberlakukan dan melaksanakan mata kuliah Anti Korupsi.
Akankah kebijakan Anies Baswedan tersebut dapat dijadikan pijakan di semua lembaga perguruan tinggi, sekaligus merambah pada SMA/MA/SMK, SMP/MTs dan sampai ke SD? Kepada mendiknas Muhammad Nuh, masyarakat berharap agar kebijakan tersebut dapat dijadikan rujukan untuk memutus mata rantai korupsi. Sebab selama ini, peserta pendidikan dan para pelaku pendidikan hanya direcoki masalah mata pelajaran (mapel) ujian nasional (UN), yang berakibat siswa, orang tua, guru bahkan kepala sekolah menjadi stres berkepanjangan.
Bias yang terjadi pada suatu sekolah adalah jam mapel non UN dikorbankan untuk diambil alih mapel UN guna diajar dan mengejar mapel UN, dari jam ke nol, jam ke 8 hingga ke bimbingan belajar (bimbel). Secara otomatis para pelaku pendidikan abai terhadap pendidikan budi pekerti (anti korupsi), kesenian, olah raga, keterampilan dan sejenisnya. Sedang orang tua yang berkantong tebal atau bahkan yang berpenghasilan pas-pasan berlomba-lomba mengikutkankan putra-putrinya, untuk les prifat bimbel.
Sekali lagi rakyat berharap kepada RI 1 dan mendiknas, untuk melaksanakan langkah konkrit dalam memberantas bobroknya mafia peradilan di negeri ini, dan pentingnya menekankan pendidikan anti korupsi kepada peserta didik. Sekaligus mendukung MA dalam memenangkan perkara gugatan para kurban UN, agar UN tidak dijadikan pedoman utama kelulusan, melainkan hanya untuk menentukan pemetaan kualitas pendidikan, sembari memeratakan sarana prasarana sekolah, dan kualitas guru.
Imbasnya rakyat mendapatkan rasa keadilan seluas-luasnya dan mampu mengembangkan potensi mapel: UN, kesenian, olah raga, keterampilan dan budi pekerti secara seimbang dan merata. Bukankah luar negeri juga menghargai orang yang berprestasi dibidang olah raga, kesenian dan lain-lainnya? Semoga!
Mengapa dan bagaimana hal tersebut menimpa saudara kita yang bernaung di daerah pedesaan? Ironis! Maka, kita layak mengapresiasi positif kepada media massa cetak dan elektronik yang mengulas contoh 3 kasus di atas.
Pada koran Wawasan, 19-11-2009 diilustrasikan Minah terjerat kasus hukum karena memetik atau “mencuri” 3 buah kakao ada yang menyebut senilai Rp 500,- sampai Rp 2.100,- sedang versi pemimpin Perkebunan PT Rumpun Sari Antan (RSA) dan jaksa, dia mencuri 3 kg kakao senilai Rp 30 ribu.
Selang satu minggu kemudian, Minah harus bolak-balik ke kantor polisi, kejaksaan hingga pengadilan, dengan jarak tempuh kurang lebih 50 km, tentu banyak menguras ongkos hingga ratusan ribu rupaih. Sedang pada tvOne, 20-11-2009 pkl 14.00 WIB, dan acara live (malam harinya), di sana terpancar wajah Minah tersipu malu, karena mencuri 3 kg kakao dengan fonis hukuman 1 bulan 15 hari (45 hari) dan masa percobaan 3 bulan, oleh pengadilan negeri Purwokerto, Jateng. Dengan mencuatnnya kasus pencurian tersebut, adakah pembelajaran yang dapat dipetik?
Pembelajaran masyarakat
Bagi warga masyarakat, hendaknya dapat memaknai bahwa ulah manusia yang mengambil (mencuri) barang bukan miliknya, karena “iseng” apalagi disengaja maka bersiap-siaplah untuk di meja hijaukan sampai pada menghuni penjara yang memberatkan sekaligus mencoreng dan memalukan keluarganya berkepanjangan.
Menyoroti kasus Minah “mencuri” 3 kg kakao, hingga sampai pada meja hijau (dalam arti dikorbankan) oleh pemilik perkebunan dengan tujuan membuat efek jera (pembelajaran) kepada masyarakat sekitar. Simpulan lainnya, masyarakat di pulau Jawa saja masih seperti itu, lalu bagaimana yang berada di luar pulau Jawa? Ironis!
Minah dan Manisih pasti kekurangan dalam memenuhi kebutuhan perut sehari-harinya. Buktinya, Minah juga menghidupi cucunya, karena ditinggal orangtuanya sebagai TKW (tenaga kerja wanita) di luar negeri. Walau Minah berkilah 3 buah kakaonya akan disemai (untuk bibit) di rumahnya.
Bercermin pada kasus pencurian tersebut, berarti pemerintah mendapat pukulan telak yang sangat memalukan, karena masih gagal dalam menyejahterakan rakyatnya. Namun, realitasnya disisi lain budaya korup bermiliar-miliar di negeri ini masih menganga lebar untuk diberantas. Seperti contoh kasus maraknya markus (makelar kasus), yang heboh pada bulan ini. Coba kita tengok perseteruan lembaga KPK versus Kepolisian, dan Kejaksaan, dengan kasus dana 5,1 milar, kemudian disusul mencuatnya kasus Bank Century dengan dana 6,7 triliun, konon diduga lembaga kepartaian sampai pada melibatkan orang-orang penting di negeri ini.
Heboh kasus tersebut sangat menyedot dan menguras emosi masyarakat, dengan eskalsi tinggi. Rakyat menunggu-nunggu pernyataan RI 1, yang disinyalir pernyataan Presiden (24-11-2009) dinilai membingungkan dan tidak tegas (live tvOne dan Metro tv). Makna yang dapat dipetik diantaranya yaitu lembaga kejaksaan, kepolisian dan KPK harus dibersihkan dari kasus-kasus mafia peradilan. Hingga menimbulkan terjadinya hak angket oleh perwakilan dewan, tokoh masyarakat, dan para mahasiswa, agar kasus tersebut yang diduga melibatkan mantan menteri keuangan dan direktur BI (Bank Indonesia) dapat diusut secara tuntas.
Berkait dengan permasalahan tersebut di atas, maka sudah seharusnya para koruptor yang terbukti harus dihukum seberat-beratnya. Karena ulah sebagian oknum pemerintah, berakibat rakyat kita miskin, bodoh dan menderita berkepanjangan. Artinya para koruptor sebagai penghambat pembangunan, bahkan secara halus membunuh masa depan generasi bangsa.
Pendidikan anti korupsi
Dari sudut pandang lembaga pendidikan, diharapkan semua mata pelajaran mampu menyisipkan materi anti korupsi untuk diimplementasikan secara komprehensip di tiap-tiap KD (Kompetensi Dasar). Maka, kita layak mengapresiasi positif dan mendukung Rektor Paramadina Anies Baswedan dalam wawancara eksklusif di tvOne dan di koran Kompas yang menyatakan Universitas Paramadina telah mempelopori, memberlakukan dan melaksanakan mata kuliah Anti Korupsi.
Akankah kebijakan Anies Baswedan tersebut dapat dijadikan pijakan di semua lembaga perguruan tinggi, sekaligus merambah pada SMA/MA/SMK, SMP/MTs dan sampai ke SD? Kepada mendiknas Muhammad Nuh, masyarakat berharap agar kebijakan tersebut dapat dijadikan rujukan untuk memutus mata rantai korupsi. Sebab selama ini, peserta pendidikan dan para pelaku pendidikan hanya direcoki masalah mata pelajaran (mapel) ujian nasional (UN), yang berakibat siswa, orang tua, guru bahkan kepala sekolah menjadi stres berkepanjangan.
Bias yang terjadi pada suatu sekolah adalah jam mapel non UN dikorbankan untuk diambil alih mapel UN guna diajar dan mengejar mapel UN, dari jam ke nol, jam ke 8 hingga ke bimbingan belajar (bimbel). Secara otomatis para pelaku pendidikan abai terhadap pendidikan budi pekerti (anti korupsi), kesenian, olah raga, keterampilan dan sejenisnya. Sedang orang tua yang berkantong tebal atau bahkan yang berpenghasilan pas-pasan berlomba-lomba mengikutkankan putra-putrinya, untuk les prifat bimbel.
Sekali lagi rakyat berharap kepada RI 1 dan mendiknas, untuk melaksanakan langkah konkrit dalam memberantas bobroknya mafia peradilan di negeri ini, dan pentingnya menekankan pendidikan anti korupsi kepada peserta didik. Sekaligus mendukung MA dalam memenangkan perkara gugatan para kurban UN, agar UN tidak dijadikan pedoman utama kelulusan, melainkan hanya untuk menentukan pemetaan kualitas pendidikan, sembari memeratakan sarana prasarana sekolah, dan kualitas guru.
Imbasnya rakyat mendapatkan rasa keadilan seluas-luasnya dan mampu mengembangkan potensi mapel: UN, kesenian, olah raga, keterampilan dan budi pekerti secara seimbang dan merata. Bukankah luar negeri juga menghargai orang yang berprestasi dibidang olah raga, kesenian dan lain-lainnya? Semoga!
0 komentar:
Posting Komentar