Ketua Agupena Semarang

Ketua Agupena  Semarang
Roto, S.Pd

MENCERMATI PERUBAHAN KURIKULUM

Senin, 19 April 2010

Oleh Roto.
DIBALIK hingar-bingar pelaksanaan Ujian Nasional SMA/SMK/MA dan SMP/MTs 2009/2010, kita wajib merepleksi kembali perubahan kurikulum di republik ini, yang terkesan serba mendadak dan tidak beraturan. Asumsi tersebut tidak sekadar wacana, faktanya dalam rentang dua tahunan kurikulum selalu berubah-ubah dan membuat guru tergopoh-gopoh. Contoh kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, bahkan konon yang tergres akan berlaku ”Kurikulum Spektrum.” Pertanyaannya mengapa perubahan kurikulum yamg serba kilat tersebut kurang sosialisasinya?

Strategi pengembangan kurikulum
Strategi, penulis tafsirkan suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan yang penulis maksud adalah tujuan untuk mencapai mutu pendidikan, (harun.lpmpjateng@yahoo.co.id, Selasa 30 Maret 2010), yang berbunyi: 1) Ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan serta kesejahteraannya yang belum memadai baik secara kuantitas maupun kualitas; 2) Prasarana dan sarana belajar yang terbatas dan belum didayagunakan secara optimal; 3) Pendanaan pendidikan yang belum memadai untuk menunjang mutu pembelajaran, serta; 4) Proses pembelajaran yang belum efisien dan efektif.

Mencermati fenomena tersebut, penulis merasa tertantang untuk mengurai benang kusut terkait dengan: “Proses pembelajaran yang belum efisien dan efektif.” Penulis sependapat dengan pernyataan tersebut, sebab fakta menunjukkan syarat nilai kelulusan di Indonesia (5,5 tahun 2010) lebih rendah dibanding nilai kelulusan di Malaysia (7,0 tahun 2007), dan Singapura (7,5 tahun 2007). Artinya proses pembelajaran yang belum efisien dan efektif terbukti.
Dari sudut pandang lain menunjukkan bahwa guru yang bergolongan IV/a sangat membludak, lebih dari lima tahunan bahkan puluhan tahun belum mampu beranjak untuk menggapai pangkat IV/b, jika ada yang berhasil meraih pangkat IV/b (kurang dari 2 persen), bukan berarti mereka adalah yang terbaik dalam menjalankan proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Namun paling tidak mereka dapat diartikan telah mampu mengembangkan diri sebagai guru yang profesional, dalam Suhardjono, 2009: “Guru profesional memang seharusnya mampu mengajar sekaligus meneliti,” Sesuai Kepmenpan No 84/1993 sampai dengan Permendiknas 2005.

Bagi guru yang telah mampu mewujudkan nilai pengembangan profesi sejumlah 12 kredit, dapat diartikan guru tersebut mampu mewujudkan kegiatan pengembangan profesi, diantaranya: 1) membuat Karya Tulis Ilmiah; 2) menemukan Teknologi Tepat Guna; 3) membuat alat peraga/bimbingan; 4) menciptakan karya seni; dan 5) mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.

Fenomena tersebut menunjukkan guru masih stagnan dan ”tidur nyenyak” pada jalur pangkat IV/a, sehingga terbitlah: “Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Birokrasi No: PER/16/M.PAN-RB/11/2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru & Angka Kreditnya,” yang menyatakan bahwa mulai tahun 2012 akan diberlakukan kenaikan pangkat disertai wajib mengumpulkan nilai pengembangan profesi mulai dari pangkat III/b menuju pangkat diatasnya.

Pada kesempatan berikut penulis tidak bermaksud mengurai tentang penilaian pengembangan profesi, melainkan pada pokok persoalan awal yaitu menyongsong perubahan kurikulum di dalamnya menyangkut proses pembelajaran yang belum efektif dan efisien. Realitas tersebut merupakan fenomena sangat komplek yang menyangkut berbagai aspek, baik mengenai guru, murid, sarana prasarana dan terlebih menyangkut perubahan kurikulum.

Kita sering terhenyak, terbelalak, bahkan terbengong-bengong manakala kurikulum “terbaru digulirkan.” Kemampuan guru dianggap robot, seperti komputer yang harus segera berubah sesuai perintah sang pemain komputer, yaitu para stakeholder di bidang pendidikan. Maka kurban paling awal adalah para guru yang berada digaris akar rumput, menyusul kemudian peserta didik.

Dalam menjabarkan fenomena perubahan kurikulum, bukan berarti guru harus terjebak pada pembelaan diri. Sebab fakta di era pasar bebas sangat cepat pergeserannya. Contoh dunia telekomunikasi, menunjukkan perubahan yang sangat cepat dalam hitungan tahun, bulan, bahkan mingguan. Realitas tersebut suka/tidak suka, harus disikapi secara bijak, dan tidak boleh terjadi tawar menawar.

Lalu apa jadinya, jika ada oknum guru yang berperilaku masa bodoh dalam mengarungi perubahan kurikulum. Maka, kita layak mengapresiasi positif kepada semua rekan guru yang tergerak untuk menyongsong perubahan. Terbukti fenomena guru hendak menyelesaikan program S1 menunjukkan grafik peningkatan signifikan, bahkan dengan terealisasinya program sertifikasi guru, berdampak sangat positif dengan berdirinya program magester di berbagai perguruan tinggi negeri/swasta.

Mewujudkan PAIKEM
Berdasarkan paparan di atas, para pendidik harus menjembatani pelaksanaan perubahan kurikulum, diantaranya menyikapi proses pembelajaran yang belum efektif dan efisien. Adapun langkah yang dapat dijadikan pertimbangan diantaranya: 1) menterjemahkan perubahan kurikulum secara aktif, artinya tidak berperilaku masa bodoh; 2) mampu menjadi motivator dalam menangkap perubahan kurikulum yang terjadi di masing-masing institusinya; 3) mengaplikasikan dan menterjemahkan secara riel dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelasnya; 4) mempelopori penggunaan teknologi dalam KBM; 5) mewujudkan KBM sesuai dengan rambu-rambu Pembelajaran, Aktif, Inovatif, Kreatif dan Menyenangkan (PAIKEM).
Berdasarkan fenomena tersebut, seharusnya para stakeholder pendidikan memberdayakan para guru untuk dilibatkan dalam penyempurnaan kurikulum. Mulai dari memberdayakan pengurus MGMP tingkat sanggar (kabupaten), dan sub sanggar, serta membuka mata mau melibatkan perwakilan guru dari masing-masing pelosok daerah untuk diajak berembug dalam menyusun perubahan kurikulum berikutnya. Selanjutnya dibarengi tindakan riel untuk selalu mengadakan sosialisasi perubahan sampai pada cara pengimplementasiannya.
Realitasnya para guru dalam menghadapi perubahan kurikulum terkesan hanya menerima dan tidak pernah diberi ruang untuk melakukan koreksi atau masukan yang didasarkan pengalaman masing-masing guru.

Muara akhir mewujudkan tujuan pendidikan nasional: ”Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab,” (http://www.depdiknas.go.id 30 Maret 2010).

Ambarawa, 31 Maret 2010
Oleh Roto Email: roto_amb@yahoo.com
Ketua Agupena Kab. Semarang
Mahasiswa Pascasarjana UMS, Sedang Menyusun Tesis

Mencermati Perubahan Kurikulum (Terbit di Wawasan, 9 April 2010)

0 komentar:

Posting Komentar