Ketua Agupena Semarang

Ketua Agupena  Semarang
Roto, S.Pd

Ujian "penghakiman" Nasional

Minggu, 14 Maret 2010


SEKOLAH tentunya bukanlah sekadar tempat transfer ilmu pengetahuan tetapi justru sekolah merupakan arena membangun komunikasi satu sama lain dalam sebuah keutuhan yang humanis. Transfer ilmu pengetahuan sangat identik dengan pengolahan otak saja sehingga sekolah menjadi "pabrik" pencetak robot manusia yang begitu kaku dan boleh jadi jauh dari sebutan manusia sesungguhnya.

Sebagai sebuah pabrik robot manusia, sekolah akan sangat kental dengan mesin pengetahuan yang produknya adalah anak pintar. Dan, sangat jelas bahwa standardisasi produk yang harus dihasilkan adalah anak-anak yang harus memiliki skor (angka) di atas batas yang sudah ditentukan. Ketika seorang anak tidak mampu mencapai standardisasi produk maka dianggap produk pabrik pendidikan itu tidak layak.Mengerikan.

Menjelang kelulusan atau tepatnya Ujian Nasional yang semakin dekat, yang ada adalah ketakutan, kekhawatiran, dan frustasi. Bahkan, itu akan berlanjut menjadi air mata tatkala anak gagal menyelesaikan sekolah karena tidak mencapai standar kelulusan yang ditentukan dalam beberapa hari saja itu. Sekolah dan pendidikan menjadi tempat yang sangat tidak adil tatkala proses pembelajaran dalam beberapa tahun sirna begitu saja hanya dalam beberapa hari dengan sebuah ujian yang katanya dianggap ampuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Mengenang keceriaan
Mencoba kembali ke belakang dan mengenang sebelum hari penghakiman itu terjadi adalah sebuah kekontrasan pendidikan. Anak-anak belajar dengan begitu ceria, senang, dan mendapatkan makna kehidupan yang semakin mengembangkan pribadi mereka. Anak-anak belajar akan kehidupan lewat segala wacana dan lingkungannya. Indahnya masa-masa itu yang telah menjadi sebuah album terindah di bangku sekolah.

Bahkan sekolah telah menjadi sebuah keluarga yang bisa saling mengerti dan mendukung satu sama lain, bukan hanya sekadar lembaga formal yang begitu kaku. Bagaimana anak-anak saling mengenal satu sama lain dan belajar dari masing- masing pribadi adalah sebuah momen terindah yang tak akan ada dalam soal ujian di hari penghakiman itu.

Hari penghakiman itu telah merampas banyak hal dari proses pembelajaran anak-anak itu. Bahkan semuanya berawal dari sebuah kurikulum yang sama sekali tidak memihak pada kepentingan anak-anak untuk belajar. Kurikulum yang mewajibkan anak-anak belajar begitu banyak mata pelajaran dan begitu menggunungnya materi di setiap pelajaran adalah sebuah "penyiksaan " di dunia pendidikan.

Banyak anak-anak tidak ceria dengan wajah sekolah yang begitu kaku menjalankan tuntutan kurikulum itu. Beban yang begitu banyak telah menimpa keceriaan dan senyum itu, bahkan sekolah menjadi tempat yang angker dan membosankan.Celakanya, hampir tujuh jam sehari anak-anak harus berada di sekolah yang mengerikan itu.

Gejolak sang guru
Sore itu sang guru tampak termenung menerawang jauh menembus ruang dan waktu. Sambil duduk bersandar di beranda rumahnya, sang guru tampak memutar kembali hari demi hari keceriaan bersama anakanak dalam pembelajaran. Ada antusiasme sang guru dan anak-anak berpacu menjadi satu untuk saling belajar. Canda tawa yang selalu mengiringi pembelajaran di kelas menjadi irama tersendiri dalam pembelajaran. Kadang pula air mata pun mengalir saat begitu terkesan akan sebuah film dalam sebuah pembelajaran. Bahkan, pesona refleksi bersama anak-anak begitu kuat dirasakan sang guru sore itu seiring dengan hembusan angin sore.

Sebuah sketsa keceriaan dan kebermaknaan dari pembelajaran yang telah lewat berputar halus dalam diamnya sang guru sore itu.Dari gurat wajahnya menyiratkan sang guru tampak kecewa dengan keadaan yang tinggal menghitung hari menuju hari penghakiman itu.Anak-anak itu telah kehilangan keceriaan, pesona, dan antusiasmenya.Kelam dan kalut, itulah yang menyelimuti anak-anak dalam hitungan hari menjelang hari penghakiman yang bernama ujian nasional.

Dari sorot matanya, sang guru tampak ingin mengatakan bahwa dia begitu marah dengan kenyataan ini. Dia begitu kecewa dengan situasi ini. Dia pun seperti menyalahkan dirinya sendiri yang tak mampu berbuat apa-apa dan hanya bisa membiarkan anak-anak itu akan dibantai dengan rentetan rudal soal yang ada. Sang guru merasa tak bisa memperjuangkan apa-apa untuk keceriaan anak-anak itu lagi. Semuanya harus terjadi dan "peperangan " itu harus berkobar walau tidak seimbang.

Akhirnya sang guru menyerahkan semuanya itu pada kekuatan sang ilahi, penguasa alam semesta, agar memberikan yang terbaik untuk anak-anak itu. Dalam hati terdalam, sang guru berharap bahwa senyum dan kebahagiaan itu akan ada lagi dan mereka bisa mengalahkan hari penghakiman itu.Senyum sang guru pun mulai mengembang serasa memberi dukungan yang terhebat untuk perjuangan anak-anak.

Tak akan menyerah
Saat gelap mulai menyelimuti semesta dan malam semakin larut diiringi taburan bintang di angkasa, sang guru pun mulai merebahkan badannya di tempat pembaringan yang sangat sederhana namun penuh dengan hiasan dinding laksana graffiti. Sepintas sang guru memandangi gambar dan tulisan yang ada di ruangan itu seolah-olah sang guru ingin membawanya dalam tidur untuk mengantarkan dirinya ke pulau pagi.

Saat semuanya begitu merasuk dalam sanubari sang guru, mata pun mulai terpejam dan napas pun mengalir laksana sungai yang siap membawa sang guru dalam alam mimpi yang begitu indah itu. Dalam tidurnya yang begitu nyenyak itu seolah-olah sang guru ingin mengatakan bahwa dia tidak akan pernah menyerah untuk terus membuat anak-anak ceria, senang, antusias, dan refelktif memaknai semua proses pembelajaran.

Pagi mulai merekah dan senyum sang guru pun mulai menghiasi semesta seiring dengan kicauan burung dan gemercik air di kolam.Pagi itu tampak sang guru sudah siap dengan semangatnya untuk terus berjuang. Sembari bersiapsiap hendak berangkat sekolah, tibatiba mata sang guru terhenti dengan sebuah opini di sebuah media massa yang berjudul, "UAN, Euthanasia Dunia Pendidikan". Paragraf pertama dari artikel itu diawali dengan sebuah kata mengerikan.

Melihat artikel itu sang guru tersenyum seolah-olah ingin mengatakan bahwa kebenaran mulai dikupas perlahan-lahan. Membuat anakanak terus belajar dan memaknai pembelajaran itu adalah sebuah perjuangan yang harus dijaga dengan setia. Memperjuangkan nasib anakanak dari sebuah kebijakan yang merampas sebagian hidup mereka adalah juga perjuangan yang harus dilakukan. Dan, tulisan di media massa itu adalah bentuk perjuangan sang guru untuk nasib anak-anak karena artikel itu adalah tulisan sang guru yang dikirim beberapa hari yang lalu. Selamat berjuang sang guru!

FX Aris Wahyu Prasetyo Tim Indonesian Secondary Education Development Program (ISEDP), Pendidik di SMA Kolese Loyola Semarang

0 komentar:

Posting Komentar