Ketua Agupena Semarang

Ketua Agupena  Semarang
Roto, S.Pd

Minggu, 28 Maret 2010

Pendidikan
29 Maret 2010
Suara Guru
Ujian Kejujuran

* Oleh Faozi Latif

BANYAK pihak tak setuju ada ujian nasional. Bukan karena takut ujian, melainkan menyinyalir pelaksanaan ujian nasional sering kali dinodai serangkaian ketidakjujuran. Ketidakjujuran itu bisa berupa mencontek antarsiswa atau tindakan yang justru difasilitasi sekolah. Memang betul ujian nasional bukan satu-satunya syarat kelulusan. Namun tanpa lulus ujian nasional, dijamin siswa tak lulus.

Berbeda dari ujian lain, yang sering digaungkan dalam ujian nasional selama ini adalah nilai minimal kelulusan. Tahun ini, rata-rata nilai kelulusan 5,5. Sebetulnya nilai itu tak terlalu tinggi. Akan tetapi sebagian besar sekolah menyikapi standar itu secara serius. Bahkan standar kelulusan itu menjadi momok menakutkan bagi siswa, sekolah, dan wali murid.

Hampir setiap sekolah memadatkan pembelajaran atau memberikan les pada siswa jauh sebelum pelaksanan ujian nasional. Itu sebagai persiapan agar siswa terbiasa mengerjakan soal-soal ujian nasional.

Kemudian, menjelang ujian nasional, beberapa sekolah "menginfus" siswa dengan mengadakan doa dan tahajud bersama. Langkah itu untuk menambah dorongan spiritual dan ketenangan ketika mereka mengerjakan soal ujian.

Ternyata di lapangan, banyak sekolah kurang mantap dengan hanya melakukan dua hal itu. Maka mereka membuat tim untuk mendukung kelulusan berdasarkan nilai minimal. Tim itu berupaya agar setiap siswa peserta ujian mendapatkan nilai minimal 5,5 untuk setiap pelajaran. Jika target itu tercapai berarti kerja tim dianggap sukses.

Tugas itu tidak ringan. Berat dan sangat berat. Bukan dalam pelaksanaan, melainkan setelah itu. Sebab, beban itu akan tetap terpikul sampai kapan pun sebagai beban psikologis.

Secara teknis, menjamin siswa lulus seratus persen merupakan perkara hebat. Namun ada yang lebih hebat lagi, yakni ketika siswa terlepas dari jerat ketidakjujuran dari mana pun. Mereka mampu mengeksplorasi sumber daya pribadi dan tak terpengaruh oleh apa pun.
Kontrak Kejujuran Langkah cukup menarik dilakukan SMP Pius Cilacap. Semua siswa kelas IX yang berjumlah 90 orang mengadakan kegiatan yang disebut kontrak kejujuran. Itu dilakukan untuk membentengi siswa agar percaya diri dan tak terpengaruh oleh jawaban dari luar.

Memang bukan tanpa risiko. Kejujuran sering berhadapan dengan persentase kelulusan yang kurang maksimal. Namun langkah itu merupakan pendidikan yang luar biasa di tengah hiruk-pikuk pelaksanaan ujian nasional.

Mungkin hal itu bisa dijadikan contoh oleh sekolah-sekolah negeri dan swasta. Dengan tujuan, semua siswa lebih mengedepankan kejujuran ketimbang kelulusan.

Hasil ujian nasional yang dijadikan patokan sering kali mengabaikan proses. Yang penting, bagaimana sekolah meraih persentase kelulusan maksimal, walaupun dengan kualitas minimal.

Apalagi bagi sekolah swasta, hasil persentase kelulusan merupakan salah satu jualan dalam penerimaan siswa baru. Persentase kelulusan kecil, konon penerimaan siswa baru pun menjadi seret. Tak ayal, ujian nasional melahirkan sekolah-sekolah yang berani menjanjikan kelulusan seratus persen.

Mungkin perlu perombakan propaganda. Lulus ujian nasional bukanlah ketika siswa mendapatkan nilai rata-rata minimal, melainkan ketika siswa menjunjung tinggi nilai kejujuran.

Ujian nasional adalah ujian kejujuran. Siswa yang mendapat nilai besar tetapi tidak jujur dianggap tak lulus. Adapun siswa yang mendapat nilai kecil tetapi jujur, dialah yang lulus sebenarnya. (53)

- Faozi Latif guru SMK Muhammadiyah Karangpucung, Cilacap

1 komentar:

Petrus mengatakan...

Dengan kontrak kejujuran itu 10 siswa harus mengulang. Akhirnya 1 siswa tidak lulus. Kontral Kejujuran di sekolah kami akan selalu kami lakukan menjelang Ujian. Memang ada sanjungan dengan langkah kami, tapi ada juga cibiran. Kami yakin itu semua akan berbuah kebaikan bagi sekolah kami, bangsa kami, penerus bangsa.

Petrus, Guru SMP Pius Cilacap

Posting Komentar