Ketua Agupena Semarang

Ketua Agupena  Semarang
Roto, S.Pd

MEMULAI SELANGKAH DEMI MENGGAPAI PANGKAT IV/b

Kamis, 04 Maret 2010

Memulai Selangkah Demi Menggapai
Pangkat IV/b

Oleh Roto

Mengisi hidup dengan keberanian gagal bukan saja lebih terhormat,
tetapi juga lebih berguna dibanding mengisi hidup tanpa melakukan apa pun juga,
(George Bernard Shaw).

MEMULAI adalah sesuatu yang sederhana namun sulit mengawali, andai Anda berkenan mencoba pasti menggembirakan. Itulah kata-kata sederhana yang dapat dipegang sebagai pijakan untuk melakukan sesuatu yang diimpikan. Kata-kata bijak berikut sering kita dengar dari motivator nasional Mario Teguh berbunyi demikian: “Berbuatlah yang terbaik lalu perhatikan apa yang terjadi.”
Berbuat di sini penulis maksudkan adalah memulai untuk menulis, dalam arti menulis karya tulis ilmiah (KTI) ataupun KTI non ilmiah, guna menggapai guru profesional dan idial dari kepangkatan IV/a sampai dengan pangkat selanjutnya. Dengan pijakan memulai menulis untuk memperoleh nilai pengembangan profesi sejumlah 12 angka kredit. Dari manakah memulai menulis agar memperoleh nilai pengembangan profesi? Untuk memahaminya mari kita ikuti uraian artikel berikut ini!
Penelitian guru sampai dengan saat ini dapat disimpulkan rendah, biasnya kualitas siswa didik stagnan. Pernyataan tersebut didasarkan pada data Pendidikan Nasional 2007/2008 “guru tidak layak” dengan rincian: guru TK 88,00 persen; guru SD 77,85 persen; SMP 28,33 persen; SMA 15,25 persen; dan SMK 23,04 persen, (Kompas, 24-10-2009). Jumlah rata-rata guru tidak layak dari tingkat TK, SD, SMP, SMA dan SMK sama dengan 46,494 persen.
Bukti lainnya pangkat guru mentok di IV/a sangat melimpah. Jika ada yang beranjak ke IV/b belum mencapai 2 persen. Simpulan sementara pola mengajar dan mendidik cenderung memakai gaya lama, bahkan tradisional. Maka, bukan sesuatu yang aneh jika kualitas pendidikan di Indonesia tertinggal dengan Malaysia, apalagi dengan Singapura. Jika fakta tersebut valid, berarti kebobrokan guru tidak layak harus segera dientaskan secepatnya, bermula dari memotivasi dan memulai menulis dari masing-masing individu guru.
Untuk menggapai guru idial dan profesional, guru wajib menyesuaikan tuntutan jaman, diantaranya membuat diktat, buku, karya tulis ilmiah populer, jurnal ilmiah dan terlebih penelitian tindakan kelas (PTK). Maka, kita layak mengapresiasi positif kepada diantara guru yang mempunyai komitmen tinggi untuk selalu berkeinginan meng-update ilmu pengetahuan dan kependidikan, serta upaya mandiri dalam melaksanakan PTK, agar mampu mewujudkan guru idial dan profesional.
Realitasnya sebagian guru bersikap masa bodoh akan fenomena tersebut. Jika realitas itu dapat dibuktikan kebenarannya, sudah seharusnya mereka harus “minggir” dalam arti berlaku sportif mengundurkan diri dari kancah profesi guru. Masih banyak guru, bahkan calon guru yang berinisiatif maju ke depan demi kejayaan generasi bangsa selanjutnya.
Fenomena peningkatan kesejahteraan guru menunjukkan terontong-terontong kecerahan semenjak diberlakukannya Undang-Undang Guru & Dosen nomor 14 tahun 2005 (UUG&D). Walau realisasinya UUG&D baru bisa dirasakan oleh sebagian guru. Bukti lain animo calon mahasiswa di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta yang mendaftar di jurusan keguruan sangat meningkat tajam.
Simpulan sementara semenjak tahun 2007, dapat ditafsirkan bahwa perguruan tinggi keguruan cenderung mendapat bibit guru yang berprestasi. Secara matematik mulai tahun 2011, bibit guru yang berkualitas mulai merambah masuk ke institusi sekolah yang sebenarnya, untuk mengajar dan mendidik di kelasnya masing-masing.
Dunia pendidikan tidak akan pernah berhenti, laju informasi di era global sangat pesat. Para guru sudah pasti menyadari bahwa ilmu tidak hanya bersumber dari guru saja, melainkan dapat melalui media koran, televisi, dan terlebih dunia maya sangat mendukung berkembangnya ilmu, yang dapat diseraf, diakses tanpa batas. Jika guru mau jujur, bila dibanding dengan siswa didik ada kecenderungan dalam menyeraf informasi melalui dunia maya kalah cepat.
Berdasar realitas tersebut tidak serta merta para guru lalu menjadi sempit pandangannya, melainkan para guru tetap unggul dalam kapasitasnya sebagai pengajar dan pendidik. Dengan catatan harus selalu berupaya meng-update ilmunya, sehingga peran guru betul-betul maksimal untuk mampu menghantarkan siswa didik yang berkualitas. Artinya sebutan guru gaptek (gagap teknologi), bahkan culun tidak menghantui pikirannya.
Obsesi Pribadi Untuk Menulis
Dengan pemahaman fenomena tersebut di atas, sekaligus agar kualitas guru tetap terjaga, bahkan meningkat maka memulai menulis dan mentradisikan penelitian guru wajib segera diwujudkan. Artinya, pemberian pelatihan, pendampingan penelitian dari pemerintah umumnya dan secara khusus mau melaksanakan dengan mandiri tentu dapat dilaksanakan secara terprogram. Faktanya pelatihan tentang penelitian yang di pelopori (didanai) dari pemerintah sangatlah kecil atau masih jauh panggang dari api.
Mencermati realitas tersebut sudah semestinya argumen di atas dapat dijadikan pijakan para stakeholder agar merespon usulan positif tersebut. Para guru sangat berharap kepada induk organisasi PGRI supaya berperan aktif untuk mampu mengegolkan pelaksanaan pelatian dan pendampingan penelitian secepatnya, hingga menyentuh lapisan terbawah yaitu para guru di berbagai pelosok daerah.
Fakta lain dengan terlahirnya organisasi forum ilmiah guru (FIG), kemudian disusul Agupena (Asosiasi Guru Penulis Indonesia) dikandung maksud dapat mempelopori dan mendampingi terlahirnya sekaligus berkembangnya kepenulisan diktat, buku, artikel ilmiah populer, jurnal ilmiah dan penelitian tindakan kelas (PTK). Namun, sampai saat ini gaungnya belum terdengar secara konkret dikalangan guru, kecuali hanya namanya doang. Artinya FIG dan Agupena boleh dikata sebagai “macan ompong.” Maka, keberadaan organisasi tersebut perlu direspon dan didukung kiprahnya secara positif agar dapat membantu secepatnya berkait dengan persoalan rendahnya penelitian guru.
Mendalami fenomena yang sangat melebar tersebut, para guru jangan terlalu berharap banyak kepada stakeholder, karena fakta tersebut dapat diatasi, jika pribadi guru mempunyai opsesi tinggi untuk mau merubah diri dalam hal memulai menulis dan mentradisikan penelitian. Sebab guru adalah sebagai agen pembaharuan atau perubahan yang takkan pernah lapuk ditelan jaman, agar selalu mampu menjadi penerang cahaya dalam kegelapan. Sekecil cahaya lampu lilin akan tetap bermakna dalam saat genting untuk menerangi kegelapan kehidupan.
Kata orang bijak: “Berantaslah sel kemalasan dalam hal penelitian yang ada pada dirimu. Selanjutnya ubahlah tradisi malas dalam penelitian yang mewabah di kantormu, lingkunganmu, bahkan negaramu.” Kata-kata bijak tersebut layak kita renungkan dan kedepankan dalam memerangi kebodohan.
Menanggapi fenomena rendahnya guru dalam penelitian, stakeholder tidak mesti menampakkan wajah pesimis, karena masih banyak guru yang selalu berantusias untuk mengembangkan potensi dirinya secara mandiri. Buktinya jumlah guru yang hendak menyelesaikan program (transfer) S1 juga sangat kentara gaungnya. Bahkan dengan cairnya program sertifikasi guru sejak tahun 2007, sangat berpengaruh signifikan terhadap guru yang melanjutkan program S2 secara mandiri, demi mencapai guru idial dan profesional.
Realitas lain, tidak sedikit pula guru yang sudah melakukan berbagai upaya untuk menggapai pangkat IV/b, dengan cara membuat diktat, buku, artikel ilmiah populer, jurnal ilmiah dan PTK. Namun karena kurangnya referensi, dan rendahnya kesadaran guru dalam penelitian, sehingga menghambat kepangkatannya.
Cara Praktis Memperoleh Nilai Pengembangan Profesi
Untuk itu pada kesempatan yang baik ini, penulis coba memaparkan secara singkat tentang cara praktis agar para guru yang berpangkat IV/a bersegera memulai menulis untuk mendapat nilai pengembangan profesi, diantaranya memulai menulis diktat, buku, artikel ilmiah populer, jurnal ilmiah, menyajikan makalah dalam seminar yang sesuai tupoksinya dan terlebih melakukan dan melaksanakan PTK.
Para guru sudah terbiasa melaksanakan kegiatan belajar mengajar (KBM) dengan diawali membuat RP (Rencana Pembelajaran). Selanjutnya pokok materi yang ada pada RP, kemudian dikembangkan atau lebih diperluas dan disusun secara berurutan disetiap semesternya, mulai semester 1 disusul semester 2 per mata pelajaran (mapel). Wujud kumpulan RP yang dilengkapi materi tersebut disebut diktat. Diktat tersebut mempunyai nilai pengembangan profesi 1 (satu) kredit. Artinya jika guru SD, SMP, dan SMA menyusun tiga mapel dalam satu tahunnya, berarti memperoleh nilai 3 kredit. Jika empat tahun berarti memperoleh nilai 12 kredit.
Setelah terbiasa membuat diktat, secara tidak langsung telah memulai membuat buku, dengan nilai kredit 3 (tingkat propinsi) dan nilai 5 (tingkat nasional). Langkah selanjutnya dapat memulai menulis artikel. Artikel yang dapat diakui nilai angka kreditnya adalah materi yang disajikan sesuai dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) yaitu pokok materi pembelajaran yang diampunya. Adapun media massa yang menyediakan kolom artikel guru secara rutin, diantaranya adalah koran Jawa Pos Radar Semarang secara rutin dalam perminggu menerbitkan 2 artikel, dan media massa lain-lainnya.
Makalah seminar yang mempunyai nilai kredit 2,5 adalah makalah yang disajikan minimal di tingkat kabupaten. Dengan persyaratan, ada kepanitiaan, surat tugas dari ketua panitia, dari kepala sekolah, daftar hadir, foto saat sebagai penyaji, piagam/sertifikat yang dikeluarkan oleh kepala dinas setempat. Dengan catatan materi yang disajikan juga harus sesuai tupoksi dan sangat bermanfaat bagi kemajuan dunia pendidikan umumnya serta khususnya berdampak positif pada mapelnya.
Jika berbentuk PTK, nilai kreditnya adalah empat, maka untuk pengajuan PTK idialnya berjumlah 4 PTK, artinya pengusulan PAK (Penetapan Angka Kredit) menyertakan 1 PTK cadangan. Jika semua PTK tersebut memenuhi syarat penilain, berarti nilai yang diperoleh mencapai 16 kredit, tetapi jika hanya 3 yang memenuhi berarti memperoleh nilai 12 kredit.
Pengembangan selanjutnya bentuk PTK tersebut dapat dirangkum menjadi jurnal ilmiah, yang diterbitkan perguruan tinggi tertentu, dengan nilai kredit 6. Jika diubah bentuk menjadi artikel ilmiah populer dan terbit di media massa nilai yang diperoleh adalah 2 kredit. Simpulannya satu PTK bisa memperoleh nilai 12 kredit.
Menanggapi betapa pentingnya PTK bagi para guru, maka sudah seharusnya Mendiknas, berkenan memprogramkan dan melaksanakan pendampingan atau pembimbingan kepada para guru yang berpangkat IV/a tersebut. Dengan tujuan utama mewujudkan guru profesional, idial, sejahtera dan terlindungi, tercapai secepatnya.
Jika program pemerintah belum terlaksana, alangkah indahnya kalau Anda berkenan memulai menulis segera, buktinya penulis dengan membuat diktat dan artikel ilmiah populer telah menghantarkan pangkat dari IV/a ke IV/b tercapai. Bagaimana dengan Anda? ”Siapa takut!” Semoga.

Ambarawa, 4 Maret 2010
Oleh Roto Email: roto_amb@yahoo.com
Pendidik SMP Negeri 1 Sumowono
Mahasiswa Pascasarjana UMS. HP 085866260943.
Rujukan:
1. Kompas, 24-10-2009.
2. Nurhidayat, 2005. Nasehat Tokoh-tokoh Terkenal Dunia, Nuansa Aulia.
3. Suhardjono, 2009. Pertanyaan dan jawaban di sekitar Penelitian Tindakan Kelas & Penelitian Tindakan Sekolah. Cakrawala Indonesia.
4. Mulyadi HP, 2009. Pengembangan Profesi Guru. Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Jawa Tengah.

0 komentar:

Posting Komentar